...

Kamis, 09 Agustus 2007


PRT Dicari, PRT Disakiti


PENGANIAYAAN yang dialami seorang pembantu rumah tangga di Bekasi bernama Sari (18) sungguh mengusik rasa kemanusiaan. Diakui atau tidak, PRT adalah sebuah profesi yang seharusnya juga dihargai. Sebab, kehadirannya tidak saja meringankan beban pekerjaan majikannya, tetapi juga menjadi bagian tak terpisahkan dari keluarga itu.

NAMUN kenyataannya, tidak jarang PRT benar-benar berada di tangan majikannya. Setelah lepas dari yayasan atau keluarga di kampung halaman, misalnya, mereka harus berjuang sendiri agar bisa beradaptasi dan diterima dengan baik oleh majikannya. Bila bernasib baik, PRT akan dianggap sebagai keluarga sendiri oleh majikannya. Soal makanan dan kesehatan tidak dibeda-bedakan. Bahkan ada pula PRT yang disekolahkan atau dikursuskan oleh majikannya.

Sebab, diakui atau tidak, peran PRT dalam rumah tangga sangat besar. Ketika majikan sedang bekerja, selama itu pula anak-anak diserahkan sepenuhnya kepada PRT atau baby sitter. Karena itu, faktor kejujuran biasanya merupakan tuntutan majikan ketika mencari PRT.

Dalam kasus penganiayaan yang menimpa Sari, belum terungkap jelas apa sebenarnya yang melatarbelakangi perbuatan majikannya. Hanya, apa pun alasannya, tindakan yang dilakukan majikannya sama sekali tidak bisa dibenarkan. Seandainya pun Sari berbuat salah, majikan seharusnya mengembalikan ke pihak yayasan atau keluarga. Bukan dengan menganiaya. Sampai dua tahun lagi.

Sebagai pekerja di sektor informal, PRT mau tidak mau harus memiliki ketahanan mental dan fisik yang kuat. Bagaimana tidak, dengan gaji hanya berkisar Rp 250.000 sampai dengan Rp 500.000 mereka harus bekerja banting tulang siang dan malam. Soal jam kerja memang sangat tergantung kebijakan majikan. Ada PRT yang sudah mulai bekerja sekitar pukul 04.30 hingga pukul 19.00 setelah makan malam selesai. Namun ada pula PRT yang harus mengurus bayi di tengah malam. Padahal di siang hari dia harus bekerja mencuci, memasak, menyapu dan mengepel lantai, serta menyetrika baju.

Kalau mau dihitung, jam kerja PRT bisa lebih dari 12 jam. Bila gaji PRT Rp 500.000 per bulan, berarti setiap jam mereka hanya menerima upah Rp 1.400. Bandingkan dengan upah tukang batu sebesar Rp 35.000 dengan jam kerja 8 jam sehari.
Bekerja sebagai PRT juga sangat rawan menjadi korban kekerasan domestik. Beberapa kali terjadi kasus penganiayaan PRT oleh majikannya. Malah sering kali terjadi penganiayaan dilakukan lebih dari satu orang.

Kompas mencatat, terdapat 10 kasus penganiayaan pembantu selama tahun 2003 ini, baik oleh majikan atau orang lain untuk melindungi majikan. Saat PRT berada di rumah sendirian, misalnya, dia dianiaya oleh perampok yang ingin menguras harta majikannya. Bahkan, seorang PRT pernah digunduli perampok (Kompas, 15/1).

MENCARI pembantu memang gampang- gampang susah. Namun, saking butuhnya, seseorang yang sudah tinggal lama di Jakarta terpaksa harus pulang ke kampung halamannya untuk mencari pembantu yang dapat dipercaya. Sebab, banyak warga belum memercayai yayasan penyalur tenaga kerja yang saat ini menjamur di Jakarta.
Khofi, warga di daerah Barito, Jakarta Selatan, misalnya, sampai harus gonta-ganti PRT selama empat kali karena tidak ada kecocokan. Ada yang minta keluar karena alasan akan kawin, ada yang kabur tanpa alasan, ada juga yang minta keluar karena tidak betah tinggal di Jakarta.
"Waktu itu, saya terpaksa harus minta tolong kerabat di kampung saya di Jawa Tengah supaya mengirimkan pembantu ke Jakarta. Soalnya, saya sangat butuh untuk menjaga dua anak saya yang masih kecil," kata Khofi. Kini, dua anaknya sudah duduk di SMU dan SD sehingga dia tidak begitu membutuhkan pembantu lagi.

Khur, warga Bogor, juga mengalami persoalan serupa. Untuk mencari PRT yang sanggup pula menjaga anaknya yang masih bayi, dia harus mencari sendiri hingga ke Semarang, kampung halaman suaminya. "Lega rasanya setelah dapat PRT," katanya.
Hal serupa dialami juga oleh Fortunata (30), staf kantor pemerintahan di Jakarta. Wanita yang memiliki dua balita itu sudah hampir tiga tahun ini kesulitan mencari PRT maupun baby sitter (pengasuh anak) yang berkemampuan baik.

Beberapa kali dia terpaksa ganti PRT dan pengasuh anak. Pasalnya, mereka tidak mampu bekerja atau mengasuh anak. Mereka hanya bertahan beberapa hari saja.
"Padahal saya sudah mengeluarkan uang administrasi untuk menebus mereka," ujar Fortunata yang memanfaatkan jasa yayasan penyalur itu. Uang administrasi yang dimaksud Fortunata besarnya bervariasi, antara Rp 250.000-Rp 350.000. Uang itu selalu diminta pihak yayasan jika ada konsumen yang akan mengambil pembantu atau pengasuh anak dari yayasan. Jika pembantu tidak betah tinggal di rumah majikannya, uang administrasi itu tidak bisa diambil kembali. Biasanya pihak yayasan mengganti pembantu yang tidak betah tersebut dengan orang lain.

Fortunata sudah berulang kali mencoba beberapa yayasan penyalur tenaga PRT di Jakarta. Namun tenaga kerja yang ia harapkan tidak pernah cocok. Saking jengkelnya, Fortunata pernah mencoba mengambil PRT dan pengasuh anak dari Purwokerto dan Tegal.

Mencari PRT di Jakarta memang terasa makin susah. Dari desa langsung juga makin susah karena banyak perempuan desa yang memilih ke luar negeri.
Meski demikian, banyak juga keluarga yang bisa mendapatkan PRT atau pengasuh anak cukup baik. Mevia, misalnya. Wanita pekerja yang sering meninggalkan anak balitanya itu sudah percaya sepenuhnya kepada pengasuh anaknya.

Semua pekerjaan mampu ditangani Darmi, nama pengasuh anaknya tersebut. Padahal menurut perjanjian, Darmi yang diambil dari sebuah yayasan di Ciputat itu hanya bekerja mengasuh bayi. "Gue beruntung, enggak perlu cari pembantu lagi untuk mengerjakan pekerjaan rumah," kata Mevia.

SUNGGUH ironis kalau di tengah situasi sulitnya mencari PRT itu ada majikan yang tega menganiaya PRT-nya.

Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi dan Pemberdayaan Pekerja dan Anak (LAPA) Apong Herlina mengatakan, pembantu memang sangat tergantung kepada sifat dan perlakuan majikan. Jika majikan baik, PRT akan mendapatkan perlakuan baik pula. Sebaliknya, PRT bisa disiksa dan dianiaya secara tidak manusiawi.
Kuncinya, menurut Apong, adalah aturan hukum yang saat ini belum memadai. Ada perda yang dikeluarkan Pemprov DKI Jakarta, yaitu Perda Nomor 6 Tahun 1993 yang mengatur mengenai perlindungan terhadap pekerja rumah tangga. Namun, aturan itu belum cukup jelas.

"Di sana ditulis, pekerja harus diperlakukan secara manusiawi. Manusiawi itu seperti apa? Lalu, mereka harus diberi makanan, makanan seperti apa? Mereka juga harus diberi istirahat, ini berapa lama? Hal itu harus dijabarkan dalam surat keputusan (SK) Gubernur untuk lebih memberi penjabaran. Hal ini penting karena banyak kasus PRT dianiaya di Jakarta dan sekitarnya, terutama di Bekasi," kata Apong.

Saat ini, LAPA sedang menjajaki produk hukum yang cocok untuk melindungi PRT. Sebab, Departemen Tenaga Kerja menolak PRT disejajarkan dengan pekerja atau buruh. "Jika sama dengan buruh, berarti nanti ada UMR, ada pesangon, ada PHK, ada cuti. Ini yang sulit dilakukan. Apalagi sebagian besar PRT itu tidur di rumah majikan," jelas Apong.

Solusi yang paling tepat, lanjut dia, PRT harus diberi satu hari dalam seminggu untuk libur, sehingga dia bisa keluar rumah. "Kasus Sari misalnya. Jika dia mendapat libur sehari saja dalam seminggu, dia akan dapat menceritakan kepada tetangganya akan apa yang dialaminya. Dia tentu akan tertolong. Yang terjadi saat ini, banyak PRT yang tidak mengenal tetangganya. Sebaliknya, orang juga tidak tahu kalau ada PRT di rumah tetangganya," jelas Apong.
Menurut dia, majikan tidak akan berkeberatan dengan libur satu hari itu. Bahkan, waktu itu bisa dimanfaatkan majikan untuk mengasuh sendiri anaknya dan bekerja di dalam rumah.

LAPA sendiri hingga saat ini telah menangani beberapa kasus PRT yang berhadapan dengan masalah hukum, baik sebagai pelaku atau korban kejahatan. Semua PRT yang diadvokasi itu berusia di bawah usia 18 tahun atau masih anak- anak. "PRT sekarang ini memang banyak yang di bawah umur dan tidak mengerti masalah hukum," kata Apong.

Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebenarnya telah mencakup semua hal yang diatur dalam Konvensi Hak Anak sekaligus mengatur sanksi hukumnya. Hal ini masih perlu disosialisasikan. "Sari, misalnya, telah menjadi PRT sejak usia 16 yang itu berarti masih anak-anak. Dipekerjakan sebagai PRT saja sebenarnya telah melanggar UU, apalagi sampai disiksa," ujar Apong.

TERLEPAS dari banyaknya kasus kekerasan terhadap PRT atau pengasuh bayi, banyak pula majikan yang tertipu mentah-mentah oleh PRT-nya yang nakal. Banyak dari mereka yang baru bekerja di rumah majikannya harus berurusan dengan yang berwajib karena kedapatan mencuri.

Pada bulan April tahun 2002 lalu, 20 PRT ditangkap Kepolisian Sektor Metro Pulo Gadung, Jakarta Timur. Mereka ditangkap di sebuah rumah di kawasan Duren Sawit, Jakarta Timur. Selain itu, penangkapan juga dilakukan di sebuah rumah di Jatinegara.
Para PRT itu tidak hanya mencuri barang-barang berharga milik majikannya. Beberapa PRT malah nekat membawa kabur anak majikannya. Di antara korban yang kehilangan anaknya adalah Ny Junaedi, warga Perumnas I Bekasi, yang kehilangan putrinya Cinta Malina (14). Menurut Ny Junaedi, Cinta diajak pergi salah seorang pembantunya.
Rata-rata PRT yang terlibat pencurian masih berusia belia, antara 14-20 tahun. Mereka tidak pernah lama bekerja di rumah majikannya, paling lama hanya enam bulan.
Pada bulan Mei 2003 lalu, seorang PRT bernama Fadhillah (19) juga ditangkap Kepolisian Sektor Duren Sawit juga karena mencuri. (Susi Ivvaty, Lusi Indriasari, Osa Triyatna)

Sumber : Kompas

Kembali Ke : HALAMAN MUKA


3 komentar:

rammy mengatakan...

terima kasih atas artikelnya...

rammy mengatakan...

miris denger kisahnya prt di indonesia...bener2 g di hargain sama majikanya...
harusnya mereka jangan memandang prt sebagai pembantu tapi pandanglah dia sebagai manusia yang sedang mencari nafkah buat keluarganya....

Unknown mengatakan...

Assalamu alaikum Wr Wb Saya hanya sekedar berbagi dengan sobatku yang ada di perantauan karena saya bisa merasakan seperti apa jadi TKI. dan apa yang saya sampaikan disini tidak ada unsur rekayasa bahkn saya berani sumpah saya tidak selamat tuju turunan dunia akhirat kalau saya tidak menikmati hasil dari ki Ageng. Jadi apa yang saya sampaikan disini tidak lebih dari rasa solidaritas sesama TKI. Awalnya sih saya juga tidak yakin tapi karena terdesak soal keuangan (ekonomi) akhirnya saya coba konsultasi di No beliau +62812-4576-7849 dan syukur Alhamdulillah dalam waktu singkat (3 hari) saya bisa mendapatkan uang senilai 300 juta. Untuk anda yang dalam masalah ekonomi tidak ada salahnya sekedar konsultasi dengan Ki.AGENG siapa tau bernasib mujur. Beliau bisa membantu melalui Angka Togel dan penarikan Dana Gaib